October 4, 2014

Kalau saya rindu dengan macan

Kalau saya rindu dengan Macan, apa yang biasanya saya lakukan? Well, saya tinggal meong meong .. Eh.. Berseru-seru memanggil namanya sambil memandang atap rumah. Lho? Kok bisa? Tentu saja bisa. Karena tak lama kemudian, sang Dewa Macan akan turun dari peraduannya. Lalu mengeong manja karena ngantuk dan ingin di gendong.

Bulan ini umur Macan (kira-kira) sudah tepat setahun. Sudah ABG, sudah mulai dewasa. Suaranya membesar dan meong-meongnya sudah mulai mirip kucing garong. Sering ngelayap dan pulang hanya untuk makan lalu tidur ngorok di lantai. Berkali-kali pula kalungnya hilang entah kemana. Kakinya dekil karena debu.

Masih ingat tangga monyet untuk Macan kan? Kini kerjanya bolak-balik naik turun tangga monyetnya. Berjam-jam berkelana di atas atap.  Sepanjang hari.

Entah apa yang ada dipikirannya. Andai saja saya tahu. Pernah sekali saya lihat, pagi itu setelah sarapan, Macan nongkrong di atas atap garasi. Ya cuma duduk manis begitu deh sambil sesekali kepalanya menoleh kesana kemari memperhatikan siapa saja yang lewat. Mulai dari mobil jemputan Anak sekolah, tukang sampah, adek bayi yang lagi di dorong mbak-nya, hingga kucing blok sebelah yang kebetulan melintas depan rumah.

Oh, Macan sudah besar ya. Ah, kadang saya merindukan Macan kecil yang dulu selalu gigih mengejar sapu yang saya pegang,  merobek-robek tissue, menggigit tangan saya dengan gemas, dan sibuk berlari kesana kemari tanpa ada tujuan yang jelas.

Maka, Itulah sebabnya, jika saya rindu dengan Macan, yang saya lakukan sekarang adalah .... memandang atap rumah sambil berseru :

"A Chaaaaan...! A.... Chaaaaaaaan...!"

Hihi... Co cuwiiit sekali toh?

(BTR, 05-10-2014 ; 00:03 yang diomongin baru saja dateng, *dari mana lagi kalo bukan dari atap* makan cemilannya sebentar, lalu tidur di lantai di samping kasur saya. Dan... Haiii.. Selamat Idul Adha ya.. Selamat hari ABRI juga...)