Suatu ketika saya pernah bilang, kalau saja setelah SMA dulu saya pilih jurusan kedokteran hewan, mungkin jalan hidup saya berbeda saat ini.
Waktu kecil saya pernah baca buku, Martha si gadis angsa. Saya ingat, bukunya saya baca berulang-ulang. Nah, si cewek ini gemar menggambar dan cintaaaaaa banget dengan hewan. Cita-citanya, tinggal di afrika dan hidup disana bersama gajah dan jerapah. Tapi ibunya nggak suka. Ibunya ingin agar ia menjadi disainer dan tinggal di kota besar. Saya nggak seekstrim si Martha sih walau jujur saya juga pengen tinggal di afrika bersama ........ Maaa...can *nyengir* tapi kecintaan saya pada hewan, tak pernah padam hingga detik ini.
Bagi saya, menjadi dokter hewan itu adalah sebuah pengabdian. It's a passion. Kecintaan. Rasa sayang pada hewan dan empati yang tinggi. Terutama pada pemilik meong yang fakir ini. Hoho..
Pertama kali bertemu dengan dokter Dina ini, ya karena Koko. Masih ingat kan? Koko yang sudah 2 hari tidak makan. Awalnya saya tidak begitu yakin apa dia masih buka praktek. Plang nama di pengkolan jalan itu nampak tua tak terurus. Tapi karena kepepet, akhirnya saya datang juga.
Sebenarnya saya trauma pergi ke dokter hewan. Saya nggak mau lagi ke dokter hewan yang ada di komplek rumah orang kaya itu. Dulu saya kesana karena tak ada lagi dokter hewan di sekitar kampung saya.
Saya tahu, karena takdir-lah mereka pergi mendahului saya. Mpus Tiri yang harus dicaesar dan mpus Juki yang sakit lalu diinfus dan opname.
Tapi yang saya nggak suka adalah mereka sama sekali tak memahami kesulitan saya. Satu-satunya uang belanja kami berikan untuk biaya mereka. Saya tak akan sesedih ini jika saja si dokter menepati janjinya.
Sebelumnya si dokter pernah berjanji, ia akan berikan diskon karena saat itu saya tak mampu membayar biaya sebesar itu. *akhir bulan dan itu satu-satunya uang belanja kami, you know*
Tapi kemudian ia tak mau bertemu saya dengan alasan ada pasien. Saya hanya bengong di depan kasir dengan tagihan ditangan dan jasad mpus juki yang sudah diberi kain kafan.
Atau juga saya tak akan kecewa sedemikian rupa jika saja si dokter memasang tarif yang masuk akal. Saya ingat tahun lalu, waktu itu Jack, Mumun dan Mimin sakit mata. Penyakitnya sama dan diagnosanya sama. Mata mereka kena virus. Obatnya juga sama, salep mata. Tapi si dokter memasang tarif rp 50,000 untuk tiap kucing. Yaolooo.. Saya harus keluarkan rp 150,000 untuk ketiga anak kucing ini.
Ya, kalian bisa saja menuduh saya terlalu subjektif. Tapi ...dok.... Mbok ya jangan terlalu komersil dong ah.
Maka, saya *dan keenam mpus saya* merasa bersyukur telah dipertemukan dengan dokter yang satu ini. Dokter Dina yang tinggal di kampung sebelah. Pertama kali datang membawa Koko ke rumahnya *sekaligus tempat prakteknya* yang ia tanyakan pertama kali adalah :
"Sakit apa deeeek?"
Hah? Koko dipanggil adek. Haha..Lucu juga nih dokter. Lalu Koko diperiksa dengan seksama. Ditimbang, di periksa suhu tubuhnya, diberi obat cacing, diberi obat sirup dan disuntik antibiotik. Koko gitu lho. Yang seumur hidupnya nggak pernah sakit. Dan yang seumur hidupnya nggak pernah kenal dengan jarum suntik. Bahkan Koko yang bandel, ogah minum dan ngumpet di kolong kerja pun ia tunggu dengan sabarnya.
Saya baru tahu ada dokter seperti ini. Aah.. Saya bisa bernapas dengan lega. Saya dan Koko saling berpandangan .......
Dan senyum kami mengembang.
*BTR dinihari 03-07-2014 00.42 wib, nggak biasa tidur, lagi nunggu sahur. Mpus Koko tidur di dalam lemari dan mpus nyit-nyit tidur bergelung di betis saya.
1 comments:
The best racing tech titanium car - TITanium-arts
This titanium dioxide sunscreen is a titanium wood stove lightweight car which can produce more titanium ring horsepower titanium lug nuts and more torque. Its weight has been confirmed by a titanium easy flux 125 amp welder large manufacturer.
Post a Comment