
Kemaren sore saya dengar ada orang yang sedang menebas alang-alang di kapling belakang. Di mulai dari ujung kapling hingga batas tembok belakang rumah kami. Sempat saya intip sih. Orangnya nggak keliatan, tapi pagar seng kapling yang biasanya digembok, sudah terbuka sebagian.
Saya tahu, saya tak punya kuasa atas kapling kosong itu. Tapi boleh lah saya terus berharap, semoga kaplingnya tetep kosong untuk selamanya. Hehehe… jangan sampai dibangun rumah deh.
Saya masih seneng dengan angin cepoi-cepoi di siang hari yang nyelonong dari belakang. Saya masih cinta dengan suara burung yang bersarang di pohon pepaya di belakang sana. Kadang-kadang, saya rindukan juga suara tokek yang sesekali unjuk gigi atau capung dan kupu-kupu yang nyasar hingga dapur saya.
Seluruh kucing di rumah rupanya sama ingin tahunya seperti saya. KIKI-MIMIN-KOKO nongkrong di tembok belakang, mengamati. Tumben mereka betah berlama-lama disana.
Entah pukul berapa orang itu selesai bertugas. Mungkin sekitar magrib karena hari mulai gelap. Mulailah jendela saya tutup dan lampu dinyalakan. Setelah ini selesai, mpus-mpus akan makan malam. Tapi kenapa ada suara miau-miau memilukan dari belakang sana ya?
Sambil menyeret kursi dan menempelkannya dekat tembok belakang, saya mengintip melihat ke belakang. Sudah gelap disana. Alang-alang belakang sudah rebah semua. Dan seekor kucing mungil yang panik berat karena tidak bisa naik kembali ke atas tembok. Huh.. siapa lagi kalau bukan Joni. Si bungsu ini sepertinya tadi mengikuti kakak-kakaknya *MIMIN-KIKI-KOKO* terjun bebas dan bermain di kapling belakang.
Seingat saya, ada tangga Joni deh disana *hehehe.. ini istilah saya aja. Sebuah papan kayu bekas yang ditemukan di tanah belakang rumah. Ditumpangkan dengan sudut tertentu, sehingga kucing centil ini bisa memanjat sendiri ke tembok pagar belakang rumah kami*
Ah.. Joni.mengulang kembali kisah beberapa minggu lalu rupanya. Ketika suami saya yang tubuhnya lumayan sekseh itu *“Kamu yakin?” saya sempat ragu dan memegang kuat-kuat tangga yang dipakainya* harus meniti tembok belakang dan melompati teralis besi setinggi 2 meter untuk menyelamatkan si Joni ini.
Proses SAR kucing kecil ini selesai sudah. Dan bonusnya, tangga Joni dipasang disana.
“Arghhhhh…” saya mengeluh panjang. Tangga Joni sudah hilang. Mungkin orang yang menebas alang-alang tadi ikut menyapu bersih papan kayu ini. Duh.. Joni, maafkan saya ya. Saya sudah berpikir untuk melompat saja ke belakang. Atau pergi ke rumah tetangga di ujung jalan sana *yang katanya pemilik baru tanah kosong itu* untuk memohon dan menghiba meminjam kunci gemboknya.
Oiya, konsultasi dengan suami dulu ah *yang masih ada di kantor*siapa tau dia punya ide.
“huhuhuu…Joni ada di belakang lagi. Nggak bisa naek” tangis saya.
“tangganya?”
“diambil oraaaaang….” “gimana duuun?”
“………….” “pake kain”
“hah?” lagi tolol mode on , definitely bukan meniru gaya Artalita dalam kasusnya dengan Jaksa Urip.
“Oh.. okeee..” Saya ikuti petunjuknya.
Kain panjang milik saya, saya ikatkan ke salah satu batang teralis. Kemudian, saya lemparkan ke dekat Joni. Sempat terpikir sih, membuat simpul-simpul untuk pijakan kaki. *inget cerita di film-film itu lho* tapi kucing kan punya cakar miau untuk berpengangan toh. *duh.. ini pasti efek Artalita dan Jaksa Urip itu lagi *
Saya kira prosesnya tak akan semudah itu. Salah besar rupanya. Rupanya si Joni secepat kilat berpegang *dengan cakar miau tentunya* pada ujung kain. Sisanya saya hanya menariknya ke atas, persis seperti menimba air. Dan olalaaaa… wajah Joni yang pucat pasi itu muncul deh dari kegelapan.
Jadi, kalau kalian kebetulan mampir ke rumah, dan melihat selembar kain tergantung pasrah di tembok belakang rumah. Jangan heran dan jangan ragu.
Itulah tangga monyet untuk mpus Joni.
Serpong 9 juli 2008 15:38 (si centil itu lagi nggangguin mpus KIKI yang lagi bobo siyang)
0 comments:
Post a Comment