April 1, 2009

walau matamu seperti buto ijo, dan gigimu kayak cakil, aku tetap cinta kamu Joni

Joni itu kucing cerdas. Saya tahu itu. Dari kecilnya aja, saya nggak pernah kerepotan mengajarinya untuk pup dan pis di luar, menyuruhnya naik tangga Joni, ketika ia nyemplung ke kapling belakang atau duduk manis saat makan tiba dan bahkan menggaruk-garuk pintu karena ingin masuk kamar.

Semua kode yang ia berikan, saya pahami. Semua miaunya saya mengerti.


Kadang saya nggak habis pikir, Joni itu kucing atau anjing sih? Kok ekornya kerap bergoyang jika saya panggil namanya. Barangkali dia tahu kalau namanya Joni. Dan dia juga tahu kalau saya sedang sedih. Entah dari mana, tiba-tiba dia datang menemani. Dia juga tahu kalau saya sedang sakit. Datang dan tidur di ujung kasur, menunggui saya.

Dan sayalah yang akan menangis jika ia sakit. Pernah suatu malam, ia tak mampu bergerak. Terlentang di lantai. Hanya ekornya saja yang bergerak lemah waktu saya panggil namanya. Pernah berhari-hari nggak nafsu makan. Badannya lemas, bulunya kusam. Saat itu yang saya ingat hanyalah :

“Kamu nggak boleh menyerah mpus. Kita berdua tidak akan menyerah”

Rasanya cukup saya melihat kematian mpus Ndut, Mpus Tommy, Uci dan Kunyit di rumah ini.

Tapi kali ini, saya sedih luar biasa. Tak sanggup lagi membendung air mata. Jum’at malam itu, seperti biasa, setelah makan malam, Joni nongkrong di kolong si biru. Entah darimana, tiba-tiba sudah terdengar suara kucing yang heboh bertengkar dan masuk ke dalam rumah.

Yang saya ingat, saya keluar kamar dan mengejar si kucing garong hingga keluar rumah. Sayang tidak terkejar. Pintu pagar sudah di gembok pula. Sudah lama si garong ini mengincar Kiki. Tapi yang saya temukan di rumah hanya tetesan darah. Duh!

Tidak ada Kiki. Hanya ada Joni yang meringkuk di atas box laundry dekat kamar mandi. Nafasnya pendek-pendek. Mulutnya mengaga, karena tak dapat bernafas dari hidung. Hidungnya tersumbat karena terus menerus mengeluarkan darah. Mata kanannya bengkak, selaput matanya tergores. Dagunya luka. Dan yang paling parah, rahangnya bergeser ke kiri.

Oh Joniiiii…..

Saya benci si kucing garong itu. Mungkin karena Joni sudah di steril, jadi dia kalah telak dari si kucing garong. Joni itu kucing rumahan.

Tiga hari pertama, tak ada satupun makanan yang nyangkut di lambungnya. Kalau tidak saya paksa minum susu dan bubur bayi yang saya campur dengan obat. Kerjanya hanya tidur. Bulunya kusam. Matanya tak bercahaya. Saya khawatir dia sudah nggak punya semangat untuk hidup lagi.

Hari berikutnya, dia sudah mau turun dari tempat tidurnya. Ikut datang ke dapur belakang ketika waktu makan tiba. Joni sudah mulai mau makan. Walau masih mengecap dari telapak tangan saya. Dan satu lagi, Joni jadi manja sekali. Kalau malam, dia pasti tidur melingkar dekat lengan kanan saya dan tak terbangun hingga pagi hari.

Dan kemudian luka-lukanya mulai mengering. Rajin saya bersihkan biar nggak infeksi. Bulunya juga saya lap setiap hari. Tapi mata kanannya masih keruh dan bengkak. Kelopak matanya masih sulit ditutup. Rahangnya bergeser kekiri. Gigi taringnya tidak sejajar lagi.

“Mungkin joni harus pake kawat gigi, Hany” kata suami saya.

“huhuhuhuhu..!” masih aja dia bercanda. Ini kan situasi genting.

Mungkin dia akan cacat seumur hidup. Tapi walau matamu seperti buto ijo, dan gigimu seperti cakil. Aku tetap cinta kamu Joni.

Serpong, 1 april 2009, 14:44 (sekarang, sudah 15 hari setelah kejadian itu. Walau badannya sedikit kurus, matanya cacat dan giginya seperti cakil, Joni sudah sehat kok)

1 comments:

Unknown said...

itu benerin rahang kucing yg bergeser gimana? bahaya gak sih?